Select Menu

NASIONAL & INTERNASIONAL

Diberdayakan oleh Blogger.

NASIONAL & INTERNASIONAL

TANAH PAPUA

PUISI

AKTIVIS

MILITERISME

SUARA MAHASISWA

VIDEO & FOTO

» » » Dari Tanjung Ukaago Melihat Deiyai dengan Segala Perubahan
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Pemandangan daerah Deiyai dari udara. Foto: Ist.
Awal Januari 2014 di Ukaago Kagouda. Malam itu, walau harus menahan dingin, saya dan beberapa orang berkesempatan menikmati indahnya daerah Deiyai di malam hari. Memandang sekeliling Tigi Peku (Danau Tigi), dari Tanjung Ukaago, temaram cahaya lampu tampak di sebagian kampung sekitar pinggir danau ini.

Angin malam berhembus lebih kencang.

Di depan kami, di pinggir danau, terdengar bunyi ombak.

Beda dengan Jayapura di waktu malam, dari Argapura kita bisa melihat terang benderangnya kawasan pantai Dok 2. Di Deiyai, pada malam hari, sebagian rumah masyarakat diterangi cahaya lampu bersumber dari tenaga surya. Panel soralcell yang dibagikan pemerintah daerah kepada masyarakat sejak dua tahun lalu, membuat Deiyai berubah bak kota besar.

"Wah, Deiyai terang sekali," pikirku.

Pemandangan malam di daerah ini memang sudah tak seperti dulu. Bila ada pasokan listrik milik PLN, mungkin nanti tampak seperti kota metropolitan? Kota industri? Kota wisata? Entahlah! Untuk sementara, sepertinya belum jelas. Dalam master plan Kabupaten Deiyai, ada?

Ketika kami berdiri di puncak Ukagouda bersama saudara-saudara, memandang ke Tigi bagian utara (Gakokebo) sampai Okomokebo, rumah-rumah warga dihiasi lampu soralcell. Pun, di Tigi Barat. Mulai dari Dedoutei sampai Ataidimi, perbatasan Kabupaten Dogiyai, sepintas tampak indah.

Di arah Timur, pemandangan di malam itu tak kalah dari dari kampung lain di Deiyai.

Wilayah yang benar-benar seperti dari Argapura memandang Dok 2 pada malam hari yaitu Tigi Selatan. Di sana, ada kampung Diyai, Bomou sampai Wakeitei, ibu kota Kabupaten Deiyai.

Pada siang hari, di tengah danau Tigi tampak jelas pulau Duwamo. Indah panoramanya. Kesan itu akan didapat jika sedang melewati Kibitamo ataupun dari Bomou dan Meiyepa.

Posisi pulau Duwamo di tengah danau memberi gambaran strategis Deiyai kelak dibuat jadi kota wisata. Di pulau ini tumbuh pohon Wagadei. Ada batu-batu indah. Airnya jernih. Bisa mancing ikan, menangkap udang.

Pulau ini punya sejarah. Sejarahnya, konon menurut cerita leluhur, penuh misteri. Beberapa orang yang sempat ke pulau itu, mengaku pernah melihat sejumlah barang sakral. Bahkan, kabarnya, di Kogebiyo, terdapat patung Santa Maria dan Santo Yosep. Kogebiyo tak jauh dari kampung  Kigimei.

Pemandangan pada malam hari, sekitar Danau Tigi yang tampak gelap dibuat terang dengan cahaya lampu di pemukiman warga. Tigiebobe (sekeliling Tigi) kini berubah. Belum lagi saat bulan terang, danau ini tampak indah dipandang. Di sana kelihatan masyarakat sedang mencari ikan, udang, dll dengan cara mancing, pakai jaring atau pukat .

Danau Tigi bagi masyarakat di sekitarnya, tempat mencari nafkah. Sayangnya, akhir-akhir ini danau mulai diselimuti tumbuhan lumut dan sejenisnya. Itu menyempitkan luasan danau.

Tentu perlu upaya pemerintah mengatasinya. Kasihan jika dibiarkan, sudah pasti tempat pencarian nafkah akan terancam.

***

Tigi sebelumnya sebuah Kecamatan (Distrik) dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Paniai. Ibukotanya di Waghete (baca: Wakeitei). Tahun 2008, Tigi dimekarkan jadi satu daerah otonom baru (DOB) bersamaan Kabupaten Intan Jaya.

Diresmikan Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto pada 29 Oktober 2008 dengan dasar hukum pembentukan kabupaten ini adalah UU Nomor 55.

Daerah ini sejak lama bersentuhan dengan dunia luar. Pater Tillemans MSC pertama kali membawa Injil ke Tigi. Beberapa Pos Pewartaan dibuka di daerah ini.

Luas Kabupaten Deiyai adalah 537,39 Km2. Terdapat 5 distrik, dengan 31 kampung.

Tigi, sebutan umum untuk daerah-daerah yang kini ada dalam Kabupaten Deiyai. Nama itu dikenal sejak dahulu.

Tigi punya cerita rakyat: "Tigi make tigiatitai". Artinya, dari Tigi akan dikumpulkan.

Kalimat itu sudah diwariskan leluhur orang di Deiyai. Pada masa sekarang sering dibicarakan oleh kalangan masyarakat, misalnya jika Tigi atau Deiyai dibangun jadi kota besar, maka akan genapi cerita tadi. Mungkin karena itu, proses pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan dan perkantoran) di kabupaten Deiyai dibangun dalam sekejab.

Proses pembangunan setelah kabupaten Deiyai dimekarkan, yang tampak jelas adalah pembangunan fisik: jalan dan jembatan. Sampai sekarang sedang dikerjakan.

Di wilayah Tigi Barat, tinggal berapa meter jalan tembus ke Ataidimi. Di bagian Selatan, jalan raya dari kampung Tenedagi sampai Oneibo, tinggal pengaspalan. Terus, beberapa kilo meter lagi dari Oneibo ke Kogemani, jalan keliling Danau Tigi tuntas.

Cerita berkembang di masyarakat melihat lajunya pembangunan infrastruktur di kabupaten Deiyai. Utamanya perkantoran di Tigido.

Menurut para tetuah, itu penggenapan cerita nubuat dari pendaluhu orang Deiyai. Jadi, cerita "Tigi make tigiatitai" itu punya makna, tetapi sulit diprediksi. Apakah yang dimaksudkan dari Tigi akan dikumpulkan, wujud-nyatakan cerita dalam Alkitab atau aspek pembangunan Deiyai kedepan yang dinubuatkan oleh para pendahulu orang Deiyai?

***

Lima tahun berlalu, sosok pemimpin sudah hadir di tengah masyarakat Tigi. Sejak 20 Agustus 2013, Dance Takimai dan Agustinus Pigome, Bupati dan Wakil Bupati periode 2013-2018 hasil pesta demokrasi perdana, sedang memimpin kabupaten ini. Mereka menjabatnya pasca dilantik Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe.

Tak sedikit harapan masyarakat lima distrik digantungkan pada pemimpin daerah yang lahir dari proses pesta demokrasi panjang nan melelahkan.

Di sini saya tak beberkan satu per satu kerinduan itu. Tetapi baik jika kita melihat ke belakang. Refleksikan bagaimana kehidupan masyarakat Tigi sebelum perubahan, pemekaran kabupaten, terjadi.

Sebelum wilayah Tigi dimekarkan, tatanan kehidupan masyarakat begitu sehat. Bugi (kebun), owaa (rumah), piya (kayu), dan uwo (air), tak kekurangan. Semua lengkap.

Sebelum Tigi jadi Deiyai, semua warga punya tanaman di samping rumah. Ada kebun di lahan. Di tempat keramat pun dibuat kebun. Itu dilakukan masyarakat karena sering muncul musim kelaparan.

Setelah pemekaran?

Masyarakat sudah tinggalkan semua kebiasaan. Lupa berkebun. Mungkin lantaran masyarakat mulai dibentuk konsumtif dengan pengadaan beras JPS dan Raskin.

Dulu, setiap keluarga punya rumah adat. Sekarang? Semua bikin rumah modern. Dimana-mana terlihat rumah dengan daun seng. Tak ada rumah adat. Kalaupun ada, rumah adat di beberapa kampung bisa dihitung dengan jari.

Orang sudah tak mau lagi rumah beratap kulit kayu, alang-alang, atau sejenisnya. Mereka beranggapan, itu kuno. Beli paku untuk mengganti rotan, tehel diangkut ke kampung buat lantai rumah. Rumah adat hampir tak ada. Tradisi itu hilang, malah. Kebiasaan leluhur mulai ditelan jaman.

Kebanyakan lebih suka bangun rumah dengan gaya modern. Itu memang kemauan individu. Masyarakat secara perlahan mulai menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Hanya, tak disadari bahwa rumah adat yang sudah lama ada itu kini sudah tak terlihat lagi di atas bumi Deiyai.

Lantas, dalam kondisi demikian, masihkah tetap mempertahankan nilai-nilai adat, tradisi, termasuk rumah adat? Entahlah! Faktanya, makin bergeser ke suasana baru bersamaan dengan kehadiran kabupaen baru.

***

"Tigiko aniya uwo ko ena" (Di Tigi airku bersih) adalah sebuah slogan yang dipakai bule (orang barat) pada saat pasang pipa air bersih keliling Tigi. Proyek ini dengan sumber air Diyaimoma di Tigi Barat.

Waktu itu, proyek air bersih berjalan baik. Tetapi tak bertahan lama. Masyarakat saat itu belum sambut baik kehadiran proyek air bersih. Karena tanpa ada proyek air bersih, di sana memang sudah ada air bersih dari berbagai sumber mata air dari gunung Deiyai (kali Itoka), kali Okomo, dan kali Aiya.

Pemerintah daerah jika mau membangun air bersih, alangkah baiknya pertimbangkan dulu: apakah layak atau tidak? Jangan sampai di kemudian hari air malah terkontaminasi zat kimia, misalnya.

***

Dalam kehidupan masyarakat Mee di daerah Tigi, Kabupaten Deiyai, piya (kayu) sangat penting. Pohon di hutan biasa ditebang, untuk aneka kebutuhan. Dibelah dan dijadikan papan untuk bikin rumah. Ada pohon tertentu dipilih kemudian dibuat jadi perahu, dayung. Juga pagar, kayu bakar, dan lain-lain.

Kayu bagi orang Mee, sejak dahulu kala, memang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tak cuma sebagai kayu api untuk masak makanan, menghangatkan badan. Kayu juga bisa dibuat sebagai papan dan tiang rumah.

Pohon yang lazim ditanam yaitu cemara. Ada di seantero Deiyai. Sekarang pohon tersebut mulai habis. Di kampung Bomou, Diyai, Ayatei, misalnya, dulu cemara banyak ditanam masyarakat setempat. Kini, mulai hampir tiada.

Kayu di hutan wilayah Debey, Tigi Barat, biasa dimanfaatkan bikin perahu. Sebelumnya masyarakat ramai buat perahu, kemudian perahu itu dijual. Biasanya dibeli oleh masyarakat yang berdomisili di keliling danau Tigi. Uang hasil perahu digunakan untuk kebutuhan keluarga, biaya pendidikan anak, juga dipakai saat pesta Natalan ataupun pesta adat (yuwo), dll.

Belakangan pohon khusus untuk dibuat perahu sudah habis. Bibitnya tak ada untuk ditanam lagi.

Banyak perubahan sudah dan sedang terjadi. Tak sadar, kehidupan masyarakat Deiyai kian digilas arus modern. Satu bukti, sifat ketergantungan kepada pemerintah sudah membudaya. Tunggu uang Bandes, uang Turdes, uang Turkam. Tunggu beras JPS, tunggu beras Raskin. Ah, kalo begini, salah siapa?

Lepas dari itu, dulu masyarakat mengenal daerah ini Tigi, kini Deiyai, lantas ke depan apa?

Mateus Badii adalah Mahasiswa Papua, Wartawan majalahselangkah.com

Sumber : http://majalahselangkah.com/content/dari-tanjung-ukago-melihat-deiyai-dengan-segala-perubahan

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

Leave a Reply